DEPOK, (Tribunekompas) By: Arief.
- Untuk mencegah terjadinya korupsi besar maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar jabatan menteri tidak berasal dari partai politik, melainkan dari akademisi, para ahli, dan LSM yang bersih.
Hal itu disampaikan oleh Ketua KPK Busyro Muqaddas dalam kuliah umum bertema Peran Perguruan Tinggi Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia di Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, Jumat (18/11).
Menurut Busyro, umumnya orang-orang parpol yang berada di kementerian lebih mementingkan partainya. Oleh karena itu, orang partai tersebut lebih mementingkan pundi-pundi keuangan partai.
"Saat di DPR kami ditanya kenapa hanya mengurusi yang ecek-ecek, tidak yang kakap. Lalu bagaimana mengantisipasi terjadinya korupsi. Bagaikan gayung bersambut. Saya bilang untuk mencegah korupsi maka menteri itu jangan dipegang orang partai," kata Busyro.
Dikatakan Busyro, transparansi birokrasi itu dapat dilakukan bila menterinya dari kalangan akademisi,para ahli, dan LSM yang bersih dan independen. Untuk mendapatkannya dapat dilakukan uji kompetensi hingga pengujian skripsi maupun desertasi gelar sarjananya.
Hal itu diperlu dilakukan, karena jika skripsi maupun desertasinya dibuat dengan plagiat maka akademisi itu tidak cocok menjadi pejabat negara. Selain itu penelitian tentang rumah tangganya.
Sebab banyak terjadi pejabat memiliki istri dua yang menyebabkan pejabat itu korupsi.
"Tentunya juga para akademisi,para ahli, dan LSM yang dipilih harus bernurani. Kenapa penelitian tentang rumah tangganya harus dilakukan, karena tidak sedikit para istri mendorong suaminya untuk korupsi," tandasnya.
Selain itu, lanjutnya, untuk mencegah korupsi maka pialang bisnis harus diajak serta mengatasi korupsi. Mereka dapat diajak kerjasama atau dimasukkan dalam keanggotaan KPK. Busyro menjelaskan, usulan agar menteri berasal dari non parpol sudah disampaikan dalam rapat dengan pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR. Namun hingga kini belum ada jawabannya.
Usulan itu disampaikan juga karena pilar korupsi sudah semakin kokoh dan telah terbentuk desentralisasi korupsi. Artinya, korupsi sudah bersifat seperti otonom yang menyebar ke tiap daerah di Indonesia dan merugikan APBD.
"Alhamdulillah hingga sekarang belum ada jawabannya dari DPR tentang usulan itu. Sekarang stakeholder korupsi sudah bertambah ada calo kasus, cukong, preman, bahkan maaf pengacara ada yang menjadi jongos koruptor," tuturnya.
UU harus diubah Agar kepala daerah dapat dipanggil oleh aparat berwajib terkait dugaan korupsi, maka UUnya harus diubah. Bila diubah maka, kepala daerah tidak harus mendapatkan izin dari Presdien bila dipanggil kejaksaan maupun KPK. Hal itu dikatakan Busyro menjawab pertanyaan mahasiswa tentang sulitnya kepala daerah diperiksa oleh kejaksaan maupun KPK.
Busyro menambahkan, perguruan tinggi merupakan benteng terakhir pemberantasan korupsi. Perguruan tinggi dapat melakukan riset untuk memetakan korupsi, aktor, modus, dan jejaring korupsi yang terjadi.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !