JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)By: Tommy.
- Memasuki waktu makan siang, rapat kerja antara Komisi V DPR dengan Kementerian Perumahan Rakyat berakhir. Setelah bersalam-salaman, Wakil Ketua Komisi V DPR Yoseph Umar Hadi mempersilakan mitra kerjanya untuk menyantap makan siang yang telah disediakan.
Makan siang diletakkan pada meja panjang yang berada di sebelah kiri ruangan, dekat pintu masuk. Sayur asem, ikan gurame dan karedok menjadi menu santap siang bagi Komisi V dan jajaran Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera).
Belasan karyawan Kemenpera langsung menyerbu makanan yang ada di ruang rapat. Sementara anggota Komisi V terlihat masih sibuk berbincang dengan mitra kerjanya atau pun sesama anggota.
Mereka tidak ikut antre mengambil makanan. Bahkan, tidak sedikit dari anggota DPR yang justru pergi meninggalkan ruangan komisi tanpa mencoba menu makan siang yang sudah disiapkan.
Sekitar satu jam acara makan siang pun selesai dengan menyisakan sejumlah sampah di di meja rapat atau pun ruang tunggu komisi. Padahal setelah ini Komisi V DPR harus menggelar rapat kerja dengan Dirjen Bina Marga, Dirjen Jasa Marga, Kakorlantas Polri, dirut perusahaan jalan tol untuk membahas masalah kemacetan lalu lintas.
Tiga orang dari perusahaan katering sibuk mengambil tempat makanan dari ruang rapat Komisi V. Barang-barang seperti piring, panci dan baskom kemudian diletakkan di depan sebelah kiri ruang komisi.
Setiap orang yang melintas menyempatkan diri untuk melihat aktifitas para petugas catering tersebut. Soalnya, barang-barang yang dipindahkan dari dalam komisi, diletakkan begitu saja di lantai tanpa alas apa pun.
Perangkat makan yang sudah terkumpul kemudian dibawa dengan semacam roda dorong menuju kamar mandi untuk dicuci. Setelah dicuci bersih peralatan makan itu dikumpulkan kembali dan dibawa pulang dengan menggunakan mobil milik perusahaan katering. Kenapa peralatan makan itu taruh di luar?
“Untuk komisi ini, memang makanan dan barang-barangnya setiap hari kami taruh di luar. Itu sudah dari dulu, sejak kami menjalin kerja sama dengan komisi ini,” ujar seorang perempuan karyawan katering yang tidak mau disebut namanya.
Perempuan berkulit sawo matang itu mengatakan, makanan dan barang-barangnya di luar bukanlah keinginan pihaknya melainkan keinginan dari sekretariat Komisi V sendiri.
“Katanya biar mudah diawasi oleh mereka (pihak sekretariat). Misalnya kalau makanan itu sesuai porsinya, tidak ada racun di dalamnya dan sebagainya. Kita sih ikut saja,” jelasnya.
Sebenarnya, kata perempuan itu, Komisi V memiliki ruangan yang bisa dipakai untuk tempat makan. Tetapi dalam penyajiannya, makanan yang siap disantap saat siang hari, selalu ditaruh di dalam ruang rapat.
“Sementara barang-barang untuk tempat makanan yang kami letakkan di luar sini. Dan selama ini tidak ada yang complain kok,” jelas perempuan yang saat itu sedang memakai seragam kerja berwarna merah dengan sedikit garis hitam dan putih.
Adi, rekan kerja perempuan tersebut menambahkan, urusan makanan dan penyajiannya itu bukanlah wewenang dari perusahaan katering tempatnya bekerja.
“Kalau komisi ini memang dari dulu di luar ruangan. Tapi kalau di Komisi I, Komisi XI dan Komisi III, kami menyajikan dan menyimpan makanan di dalam ruangan. Kami tahu, karena memang komisi itu juga bagian dari konsumen kami,” jelas pria tersebut sambil merapikan piring kotor.
Bagaimana mengenai menunya? Menurut Adi, urusan menu makanan, pihaknya hanya menerima permintaan yang disampaikan pihak sekretariat komisi.
“Kami hanya menyajikan makanan makan siang kepada komisi dan juga tamunya dalam rapat. Nanti untuk yang menyajikan snack, itu bagian lain lagi dari katering kami termasuk urusan pembayaran,” ungkap pria berpostur kurus tinggi ini.
Ninda, petugas catering lainnya juga mengatakan pihaknya menyajikan menu berbeda setiap hari. Menu itu ditentukan sekretariat komisi.
“Kalau sekarang gurame, besok bisa ikan mas atau ayam goreng. Pokoknya beda-beda setiap hari. Begitu juga untuk snack, isinya pun berbeda-beda termasuk buah yang ada di dalamnya,” tegasnya.
Berapa harga satu porsi? Ninda menolak menyebutkan harganya. Alasannya, itu diluar wewenangnya dan dia pun juga tidak tahu persis untuk urusan tersebut.
“Saya hanya tahu kalau pembayarannya dilakukan secara langsung selama satu bulan. Jadi selama sebulan kami drop makanan, nanti tinggal dihitung keseluruhan dan dibayar pihak sekretariat,” jelasnya.
Untuk jumlah porsi, kata Ninda, biasanya pihak sekretariat hanya meminta untuk 50 orang saja. Kalau sehari ada dua rapat, maka bisa dua kali lipatnya. Tapi kalau tidak, maka makanan berat hanya sekali, sementara snack disajikan dua kali.
”Selama ini cukup-cukup aja, bahkan lebih kalau untuk nasi dan sayur. Setahu saya, kalau untuk makan siang, hanya sedikit anggota yang ikut menyantap, kebanyakan tamu. Kecuali snack, setiap anggota yang datang akan kebagian jatah satu orang satu,” tuturnya.
Malu Dong Ribut Urusan Kudapan
Kelakuan anggota DPR yang meributkan soal makanan mendapatkan respons negatif dari berbagai kalangan. Bahkan internal DPR pun mengaku malu dengan masalah yang sedang diributkan tersebut.
“Saya heran kenapa teman-teman ada yang meributkan soal makanan. Kalau ada dimakan, tapi kalau tidak ada yang tidak usah diributkan,” ujar anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKB Marwan Jafar.
Menurutnya, masih banyak hal penting yang harus dikerjakan oleh dewan, ketimbang urusin soal makanan. Apalagi, tugas-tugas legislasi belakangan ini menurutnya, menuntut ekstra cepat untuk segera diselesaikan.
“Kalau memang yang diributkan soal penyimpangan anggaran makanannya, silakan itu diproses. Tapi kalau pada menu makanan yang harus lezat, itu memalukan,” kritiknya.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Moeloek mengatakan tingkah anggota DPR membicarakan soal kudapan itu menunjukkan perilaku yang tidak terpuji.
“Tugas anggota dewan ialah mengurus kepentingan rakyat. Snack itu urusan kecil yang tidak harus didiskusikan di ruang publik. Itu tidak pantas diurus anggota dewan,” ujarnya, kemarin.
Membicarakan enak atau tidaknya snack juga mencerminkan kualitas DPR yang anjlok. Seharusnya, lanjut Hamdi, DPR membahas persoalan publik yang melilit kehidupan rakyat seperti soal kemiskinan
Pengamat politik UI Iberamsjah juga heran dengan sikap anggota DPR yang masih mengeluhkan soal makanan. Menurutnya, keluhan itu membuktikan kalau kualitas anggota DPR buruk karena gemar meributkan hal yang remeh-temeh.
“Seharusnya tidak perlu, ini bukti kualitas berfikir anggota dewan tidak cerdas. Pernyataan ini justru akan semakin membuat citra DPR sebagai lembaga legislatif semakin buruk,” ujarnya.
Anggaran Terus Naik, Menunya Itu-itu Saja
Konflik antara Kesetjenan dan kalangan anggota DPR kembali mencuat. Setelah polemik renovasi ruang rapat Badan Anggaran mereda, kini Setjen dikecam soal anggaran jamuan makan rapat alat kelengkapan dewan.
Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dari Fraksi PKS DPR Refrizal yang menyampaikan kekesalannya atas kinerja Setjen DPR dalam soal jamuan makan.
Menurutnya, anggaran yang digelontorkan pihak BURT pada Setjen DPR untuk biaya makan, tidak sebanding dengan menu santap yang ada.
“BURT kan sudah kasih anggaran bagus tapi kok itu tidak bagus. Anggota DPR banyak mengeluh snacknya itu-itu terus. DPR kan hanya jadi korban sistem,” ujarnya.
Selama ini, lanjutnya, BURT sudah bosan mendengar keluhan dari banyak anggota soal jajanan rapat yang itu-itu saja. Padahal setiap tahunnya, kata dia, anggaran yang disetujui BURT pada Setjen DPR itu selalu naik.
“Seperti harga konsumsi ringan untuk anggota DPR yang mencapai Rp 20 ribu rupiah, yang berisi 3-4 potong makanan ringan, menurut saya tidak pantas. Dulu harganya itu Rp 7.500, tahun lalu Rp 15.000 dan tahun ini kita naikkan sampai Rp 20.000, tapi makanannya selalu sama tidak ada yang berubah atau ditingkatkan.”
“Saya sudah bilang sama Bu Sekjen, anggaran Rp 20 ribu itu empat jenis paling dimakan dua. Dua lagi tidak dimakan. Kata teman-teman itu paling tinggi harganya Rp 10 ribu. Ini yang harus kita perbaiki. Ya paling isinya buah, roti, kacang dan minuman. Kadang-kadang ada lontong,” beber Refrizal.
Memang, kalau untuk rapat BURT, menurut Refrizal, jajanannya cukup lezat. Sehingga tak ada anggota BURT yang mengeluhkan kualitas jajanan rapatnya. Tapi kalau di komisi, kata dia, banyak anggota DPR yang mengeluh soal jamuan makan.
“Kalau di BURT bagus. Yang mengeluhkan itu teman-teman di komisi-komisi. Padahal uang snack itu sudah ada standar naik setiap tahun. Ya tolong difungsikan. Ini bagian yang akan kita perbaiki. Kemarin kita sepakat BURT supaya di rolling sekretariat yang ada di komisi. Jangan terlalu lama di komisi A dipindah ke komisi B,” papar Refrizal.
Sekretaris FPKS DPR RI KH Abdul Hakim juga menyampaikan kalau jamuan yang ada selama ini terlalu mewah dan berlebihan sehingga memboroskan anggaran. Apalagi, tegasnya, anggota DPR datang ke Senayan bukan untuk menikmati makanan dan jajanan. Tapi untuk memecahkan dan merumuskan solusi masalah-masalah kebangsaan yang semakin hari tantangannya semakin besar.
“Jika ada perjamuan, masih bisa dilakukan dengan menyajikan makanan yang sederhana dan tidak perlu mewah seperti sekarang,” kata Abdul Hakim.
Dia mengungkapkan untuk jamuan 10 fraksi di DPR, pada tahun 2012 dialokasikan anggaran sekitar Rp 4 miliar. Pemberian alokasi perjamuan disesuaikan dengan jumlah anggota dewan di masing-masing fraksi.
Selain fraksi, sekretariat alat kelengkapan DPR seperti pimpinan DPR, Komisi, Banmus, Baleg, BURT juga menyediakan perjamuan untuk peserta rapat.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengingatkan bahwa pengadaan makanan kecil untuk DPR merupakan ladang bisnis yang besar. Karena itu, soal tersebut harus transparan. ‘’Bisnis snack itu harus diawasi karena rawan korupsi,’’ kata Salang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !