Headlines News :
Home » » Jaksa Agung Muda Sudah Periksa Lima Jaksa

Jaksa Agung Muda Sudah Periksa Lima Jaksa

Written By Tribunekompas.com on Sabtu, 31 Maret 2012 | 5:30:00 PM

JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)
By: Tommy.


- Bagaimana nasib laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai 12 rekening janggal milik jaksa?

Jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan masih melakukan penelusuran untuk mengetahui, apakah jaksa-jaksa yang memi­li­ki rekening jumbo, mendapatkan kekayaannya karena melakukan tindak pidana korupsi.

“Masih kami dalami, jika me­mang ada indikasi tindak pidana, tentu akan kami proses secara pi­dana. Jamwas kan punya we­we­nang melakukan penyidikan,” ujar Jaksa Agung Muda Pe­nga­wasan Marwan Effendy, kemarin.

Menurut Marwan, pihaknya ma­sih mengklarifikasi sejumlah data dan memanggil jaksa-jaksa yang dicurigai memiliki rekening gendut. Kendati begitu, dia me­nam­bahkan, bisa saja data PPATK mengenai rekening jang­gal jaksa itu ditindaklanjuti KPK atau Pol­ri. “Kami memiliki kewena­ngan untuk itu, kecuali untuk yang su­dah pensiun. Bisa juga ditangani KPK atau Polri,” ujarnya.

Dia mengaku tidak akan mem­petieskan dan menutup-nutupi ha­sil pemeriksaan internal terse­but. “Kami memroses setiap la­po­ran dan informasi mengenai du­gaan pelanggaran yang dila­kukan jaksa,” kata bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus ini.

PPATK melaporkan 12 re­ke­ning jaksa yang dianggap tidak wajar. Akan tetapi, pihak Ke­jak­saan Agung mengklaim hanya sembilan rekening jaksa yang dapat dinilai mencurigakan. Para pemilik rekening itu pun, me­nu­rut Marwan, hanya dari eselon II, III dan IV. “Tidak ada dari eselon I,” ujarnya.

Semua jaksa yang dilaporkan me­miliki rekening janggal itu, ka­tanya, akan dipanggil dan di­pe­riksa terlebih dahulu oleh Bidang Pengawasan. Sejauh ini, lanjut Mar­wan, jajarannya sudah me­manggil dan memeriksa lima jak­sa terkait laporan PPATK ter­se­but. “Masih didalami bukti-buk­ti yang diajukan mereka. Dari hasil pendalaman, nantinya baru bisa ditentukan apakan mereka clear atau tidak,” ujarnya.

Menurut Marwan, transaksi dalam rekening-rekening itu jum­lah kumulatifnya berkisar ratusan juta hingga dua miliar rupiah. Bisa hasil korupsi, bisa pula bu­kan. Itulah yang masih ditelisik ja­jaran Jaksa Agung Muda Pe­ngawasan. “Bisa saja mereka peroleh di luar gaji, tapi belum tentu dari kejahatan seperti terima suap atau memeras,” ujarnya.

Dia menambahkan, seorang jaksa disebut memiliki rekening mencurigakan karena profil gajinya tidak sesuai dengan tran­saksi-transaksi dalam reke­ning­nya. “Misal, seorang PNS eselon II gajinya Rp 6 juta, rupanya ada masukan Rp 10 juta, tapi belum tentu yang 10 juta dari memeras atau menerima suap,” kata dia.

Menurut Marwan, laporan me­ngenai rekening mencurigakan milik jaksa itu sebenarnya lapo­ran lama yang baru masuk ke Ke­jaksaan Agung. Kendati begitu, dia tetap akan menelusuri dan me­nerapkan pembuktian terbalik terhadap rekening-rekening men­curigakan tersebut. “Saya sudah minta pembuktian terbalik,” tandasnya.

Bila memang ada jaksa yang isi rekeningnya dari hasil tindak pi­da­na korupsi, kata Marwan, pi­haknya akan menindak tegas. “Ka­lau terbukti, bukan hanya di­copot, tapi dipidana juga,” ucapnya.

Sebaliknya, lanjut Marwan, uang yang besar dalam rekening sejumlah jaksa itu bisa juga diperoleh dengan cara yang halal. Karena itu, pihaknya tidak serta merta membuat kesimpulan bah­wa uang dalam rekening para jak­sa itu haram.

“Mungkin saja uang itu disim­pan dari usaha keuntungan da­gang, dari pemberian saudara, jual rumah, hasil kebun dan lain-lain. Tapi, karena menurut PPATK jumlah transaksi di re­kening-rekening itu melebihi gaji pemiliknya, ya patut dicurigai,” katanya.

REKA ULANG
Dari 12 Jadi 9 Rekening Mencurigakan


Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan 12 rekening jaksa yang tidak wajar. Hal itu mem­buat Jaksa Agung Basrief Arief mengaku terperangah.

Basrief pun mencoba meng­kla­ri­fikasi hal tersebut kepada PPATK. Hasilnya, PPATK mem­berikan jawaban bahwa sembilan rekening saja yang tidak wajar. “Setelah saya cek dan saya minta konfirmasi dari PPATK, hanya ada sembilan rekening yang men­curigakan. Itu adalah yang lalu-lalu. Waktu itu disebutkan pernah ada yang lakukan klarifikasi dan se­karang saya meminta kla­rifikasi ulang terkait laporan ini,” ujarnya.

Kemudian, Basrief meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) untuk menangani data PPATK tersebut. “Tapi yang pas­ti, laporan itu tidak disampaikan ke­pada Jaksa Agung,” katanya.

Data tersebut, menurut Bas­rief, murni dari PPATK karena di kejaksaan tidak ada data yang lengkap mengenai hal tersebut. “Tapi sungguh demikian, saya minta hal itu untuk diklarifikasi,” kata bekas Jaksa Agung Muda Intelijen ini.

Sebelumnya PPATK me­nye­but­kan ada 89 laporan hasil ana­lisis, yakni KPK 1 laporan, ke­jaksaan 12 laporan, hakim 17 la­po­ran dan legislatif 65 laporan. Sebanyak 12 rekening jaksa telah dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. “Iya, sudah dilaporkan ke Kejaksaan Agung juga,” kata Ketua PPATK M Yusuf yang ditemui seusai acara di Kejaksaan Agung, Jakarta pada Kamis (22/3).

Yusuf menjelaskan laporan adanya rekening mencurigakan tidak hanya milik kejaksaan, tetapi juga instutusi kepolisian, dan sudah dilaporkan ke masing-masing institusi.

Di antara 12 rekening men­curi­gakan itu antara lain milik jak­sa yang telah menjadi terpi­da­na Urip Tri Gunawan. Sedangkan dua jaksa lainnya telah pensiun. “Hanya eselon IV, ada yang tidak punya eselon, ada yang mantan,” kata pria yang juga jaksa ini.

Action Kejagung Tidak Serius
Patrialis Kosay, Anggota Komisi III DPR


Anggota Komisi III DPR Patrialis Kosay menyampaikan, sulit mempercayai aparat pe­negak hukum un­tuk mem­be­rantas tindak pidana korupsi, apabila dalam tubuh instansi pe­negak hukum itu sendiri be­lum bersih dari korupsi.

“Saya kira, mereka tidak serius mengusut sesamanya yang diduga memiliki rekening gendut. Selama ini, saya meli­hat, mereka maunya sibuk me­ngusut kasus korupsi eksternal, padahal di internal mereka sendiri tak serius diusut,” ujar Patrialis, kemarin.

Dia mengingatkan, kecu­ri­gaan publik kian tinggi apabila rekening janggal sejumlah jaksa itu tak pernah dise­le­sai­kan secara tuntas. “Bisa jadi, mereka melindungi rekan-re­kan satu korpsnya, sehingga tidak mau mengusut tuntas,” curiganya.

Kosay mengatakan, jika korupsi di internal tidak selesai diusut, maka berbagai persoa­lan korupsi di luar pun tidak akan sungguh diusut. “Pe­ne­ga­kan hukum dan pemberantasan korupsi di mana pun tidak akan selesai, sebab di internal me­re­ka pun belum tuntas,” katanya.

Bagi Kosay, upaya pem­be­ran­­tasan korupsi oleh ke­jaksaan bisa dinilai sebagai tameng. “Upaya pemberantasan korupsi di luar itu seperti sandiwara saja, yang tujuannya hanya un­tuk menghibur rakyat. Ada ba­nyak kasus korupsi yang mu­n­cul dan ditangani, nyatanya ti­dak sungguh-sungguh diusut ka­rena tak kunjung masuk pe­ngadilan,” ujarnya.

Dia menegaskan, jika me­mang serius ingin mem­ber­sih­kan Indonesia dari korupsi, maka langkah pertama adalah membersihkan internal masing-masing institusi dahulu dari ko­rupsi. “Mereka harusnya men­jadi teladan, menunjukkan tidak korup. Rakyat tak pernah per­ca­ya bila instansi-instansi itu ti­dak dibersihkan dulu,” ujarnya.Selain itu, lanjut Kosay, mo­del kepemimpinan yang tegas sangat diperlukan untuk mem­bersihkan Indonesia dari ko­rupsi. “Pimpinan nasional harus berani dan benar-benar tegas membersihkan lingkungannya terlebih dahulu dari korupsi, itu pasti akan membawa pengaruh baik. Kalau seperti sekarang, tidak ada yang bisa di­ha­rapkan.”

Jaksa Jangan Diperiksa Jaksa
Hendardi, Ketua Setara Institute


Ketua Setara Institute Hen­dardi menyampaikan, Kejak­sa­an Agung sebagai lembaga pe­negak hukum tidak boleh meng­hindar untuk mengusut tuntas laporan PPATK mengenai rekening mencurigakan milik sejumlah jaksa.

“Kalau ada indikasi seperti itu, Kejaksaan Agung harus memeriksa semuanya. Supaya tidak ada diskriminasi dengan institusi lain. Ini juga meru­pa­kan semangat pemberantasan korupsi. Kejaksaan tak bisa me­nutup diri akan hal itu,” ujar Hendardi, kemarin.

Dia menilai, selama ini jika ada jaksa yang terlibat masalah, Korps Adhyaksa kerap bertin­dak tidak fair. “Kejaksaan kalau terkait dirinya sendiri menutup diri, seolah-olah mereka bisa me­nyelesaikannya secara in­ternal, tapi tidak diselesaikan,” ujar Hendardi.

Lantaran itu, menurut Hen­dardi, pengusutan pelanggaran berupa dugaan korupsi di Ke­jaksaan Agung harus dilakukan secara transparan dan ketat, dan tidak boleh dilakukan internal ke­jaksaan.

“Mesti dicari tero­bosan agar pemeriksaan tidak dilakukan kejaksaan sendiri. Misalnya, ada instansi gabungan dengan pengawasan yang ketat, dan karena kejaksaan di bawah Pre­siden, maka Presiden perlu lang­sung mengawasinya.”

Pengawasan jaksa oleh Ko­misi Kejaksaan, nilai Hen­dardi, juga tidak efektif. “Komisi Ke­jak­saan juga tak punya we­we­nang terlalu besar dalam penga­wa­san. Komisi Kejaksaan juga harus mendorong proses pe­ngu­sutan jaksa dan terus me­nyu­a­ra­kan progresnya. Presiden ha­rus turun langsung melakukan pengawasan terhadap jaksa,” katanya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

.

.

BERITA POPULAR

 
Copyright © 2015. TRIBUNEKOMPAS.COM - All Rights Reserved
Published by Tribunekompas.com