JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)
By: Tommy.
- Bagaimana nasib laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai 12 rekening janggal milik jaksa?
Jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan masih melakukan penelusuran untuk mengetahui, apakah jaksa-jaksa yang memiliki rekening jumbo, mendapatkan kekayaannya karena melakukan tindak pidana korupsi.
“Masih kami dalami, jika memang ada indikasi tindak pidana, tentu akan kami proses secara pidana. Jamwas kan punya wewenang melakukan penyidikan,” ujar Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy, kemarin.
Menurut Marwan, pihaknya masih mengklarifikasi sejumlah data dan memanggil jaksa-jaksa yang dicurigai memiliki rekening gendut. Kendati begitu, dia menambahkan, bisa saja data PPATK mengenai rekening janggal jaksa itu ditindaklanjuti KPK atau Polri. “Kami memiliki kewenangan untuk itu, kecuali untuk yang sudah pensiun. Bisa juga ditangani KPK atau Polri,” ujarnya.
Dia mengaku tidak akan mempetieskan dan menutup-nutupi hasil pemeriksaan internal tersebut. “Kami memroses setiap laporan dan informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan jaksa,” kata bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus ini.
PPATK melaporkan 12 rekening jaksa yang dianggap tidak wajar. Akan tetapi, pihak Kejaksaan Agung mengklaim hanya sembilan rekening jaksa yang dapat dinilai mencurigakan. Para pemilik rekening itu pun, menurut Marwan, hanya dari eselon II, III dan IV. “Tidak ada dari eselon I,” ujarnya.
Semua jaksa yang dilaporkan memiliki rekening janggal itu, katanya, akan dipanggil dan diperiksa terlebih dahulu oleh Bidang Pengawasan. Sejauh ini, lanjut Marwan, jajarannya sudah memanggil dan memeriksa lima jaksa terkait laporan PPATK tersebut. “Masih didalami bukti-bukti yang diajukan mereka. Dari hasil pendalaman, nantinya baru bisa ditentukan apakan mereka clear atau tidak,” ujarnya.
Menurut Marwan, transaksi dalam rekening-rekening itu jumlah kumulatifnya berkisar ratusan juta hingga dua miliar rupiah. Bisa hasil korupsi, bisa pula bukan. Itulah yang masih ditelisik jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan. “Bisa saja mereka peroleh di luar gaji, tapi belum tentu dari kejahatan seperti terima suap atau memeras,” ujarnya.
Dia menambahkan, seorang jaksa disebut memiliki rekening mencurigakan karena profil gajinya tidak sesuai dengan transaksi-transaksi dalam rekeningnya. “Misal, seorang PNS eselon II gajinya Rp 6 juta, rupanya ada masukan Rp 10 juta, tapi belum tentu yang 10 juta dari memeras atau menerima suap,” kata dia.
Menurut Marwan, laporan mengenai rekening mencurigakan milik jaksa itu sebenarnya laporan lama yang baru masuk ke Kejaksaan Agung. Kendati begitu, dia tetap akan menelusuri dan menerapkan pembuktian terbalik terhadap rekening-rekening mencurigakan tersebut. “Saya sudah minta pembuktian terbalik,” tandasnya.
Bila memang ada jaksa yang isi rekeningnya dari hasil tindak pidana korupsi, kata Marwan, pihaknya akan menindak tegas. “Kalau terbukti, bukan hanya dicopot, tapi dipidana juga,” ucapnya.
Sebaliknya, lanjut Marwan, uang yang besar dalam rekening sejumlah jaksa itu bisa juga diperoleh dengan cara yang halal. Karena itu, pihaknya tidak serta merta membuat kesimpulan bahwa uang dalam rekening para jaksa itu haram.
“Mungkin saja uang itu disimpan dari usaha keuntungan dagang, dari pemberian saudara, jual rumah, hasil kebun dan lain-lain. Tapi, karena menurut PPATK jumlah transaksi di rekening-rekening itu melebihi gaji pemiliknya, ya patut dicurigai,” katanya.
REKA ULANG
Dari 12 Jadi 9 Rekening Mencurigakan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan 12 rekening jaksa yang tidak wajar. Hal itu membuat Jaksa Agung Basrief Arief mengaku terperangah.
Basrief pun mencoba mengklarifikasi hal tersebut kepada PPATK. Hasilnya, PPATK memberikan jawaban bahwa sembilan rekening saja yang tidak wajar. “Setelah saya cek dan saya minta konfirmasi dari PPATK, hanya ada sembilan rekening yang mencurigakan. Itu adalah yang lalu-lalu. Waktu itu disebutkan pernah ada yang lakukan klarifikasi dan sekarang saya meminta klarifikasi ulang terkait laporan ini,” ujarnya.
Kemudian, Basrief meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) untuk menangani data PPATK tersebut. “Tapi yang pasti, laporan itu tidak disampaikan kepada Jaksa Agung,” katanya.
Data tersebut, menurut Basrief, murni dari PPATK karena di kejaksaan tidak ada data yang lengkap mengenai hal tersebut. “Tapi sungguh demikian, saya minta hal itu untuk diklarifikasi,” kata bekas Jaksa Agung Muda Intelijen ini.
Sebelumnya PPATK menyebutkan ada 89 laporan hasil analisis, yakni KPK 1 laporan, kejaksaan 12 laporan, hakim 17 laporan dan legislatif 65 laporan. Sebanyak 12 rekening jaksa telah dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. “Iya, sudah dilaporkan ke Kejaksaan Agung juga,” kata Ketua PPATK M Yusuf yang ditemui seusai acara di Kejaksaan Agung, Jakarta pada Kamis (22/3).
Yusuf menjelaskan laporan adanya rekening mencurigakan tidak hanya milik kejaksaan, tetapi juga instutusi kepolisian, dan sudah dilaporkan ke masing-masing institusi.
Di antara 12 rekening mencurigakan itu antara lain milik jaksa yang telah menjadi terpidana Urip Tri Gunawan. Sedangkan dua jaksa lainnya telah pensiun. “Hanya eselon IV, ada yang tidak punya eselon, ada yang mantan,” kata pria yang juga jaksa ini.
Action Kejagung Tidak Serius
Patrialis Kosay, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Patrialis Kosay menyampaikan, sulit mempercayai aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi, apabila dalam tubuh instansi penegak hukum itu sendiri belum bersih dari korupsi.
“Saya kira, mereka tidak serius mengusut sesamanya yang diduga memiliki rekening gendut. Selama ini, saya melihat, mereka maunya sibuk mengusut kasus korupsi eksternal, padahal di internal mereka sendiri tak serius diusut,” ujar Patrialis, kemarin.
Dia mengingatkan, kecurigaan publik kian tinggi apabila rekening janggal sejumlah jaksa itu tak pernah diselesaikan secara tuntas. “Bisa jadi, mereka melindungi rekan-rekan satu korpsnya, sehingga tidak mau mengusut tuntas,” curiganya.
Kosay mengatakan, jika korupsi di internal tidak selesai diusut, maka berbagai persoalan korupsi di luar pun tidak akan sungguh diusut. “Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di mana pun tidak akan selesai, sebab di internal mereka pun belum tuntas,” katanya.
Bagi Kosay, upaya pemberantasan korupsi oleh kejaksaan bisa dinilai sebagai tameng. “Upaya pemberantasan korupsi di luar itu seperti sandiwara saja, yang tujuannya hanya untuk menghibur rakyat. Ada banyak kasus korupsi yang muncul dan ditangani, nyatanya tidak sungguh-sungguh diusut karena tak kunjung masuk pengadilan,” ujarnya.
Dia menegaskan, jika memang serius ingin membersihkan Indonesia dari korupsi, maka langkah pertama adalah membersihkan internal masing-masing institusi dahulu dari korupsi. “Mereka harusnya menjadi teladan, menunjukkan tidak korup. Rakyat tak pernah percaya bila instansi-instansi itu tidak dibersihkan dulu,” ujarnya.Selain itu, lanjut Kosay, model kepemimpinan yang tegas sangat diperlukan untuk membersihkan Indonesia dari korupsi. “Pimpinan nasional harus berani dan benar-benar tegas membersihkan lingkungannya terlebih dahulu dari korupsi, itu pasti akan membawa pengaruh baik. Kalau seperti sekarang, tidak ada yang bisa diharapkan.”
Jaksa Jangan Diperiksa Jaksa
Hendardi, Ketua Setara Institute
Ketua Setara Institute Hendardi menyampaikan, Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum tidak boleh menghindar untuk mengusut tuntas laporan PPATK mengenai rekening mencurigakan milik sejumlah jaksa.
“Kalau ada indikasi seperti itu, Kejaksaan Agung harus memeriksa semuanya. Supaya tidak ada diskriminasi dengan institusi lain. Ini juga merupakan semangat pemberantasan korupsi. Kejaksaan tak bisa menutup diri akan hal itu,” ujar Hendardi, kemarin.
Dia menilai, selama ini jika ada jaksa yang terlibat masalah, Korps Adhyaksa kerap bertindak tidak fair. “Kejaksaan kalau terkait dirinya sendiri menutup diri, seolah-olah mereka bisa menyelesaikannya secara internal, tapi tidak diselesaikan,” ujar Hendardi.
Lantaran itu, menurut Hendardi, pengusutan pelanggaran berupa dugaan korupsi di Kejaksaan Agung harus dilakukan secara transparan dan ketat, dan tidak boleh dilakukan internal kejaksaan.
“Mesti dicari terobosan agar pemeriksaan tidak dilakukan kejaksaan sendiri. Misalnya, ada instansi gabungan dengan pengawasan yang ketat, dan karena kejaksaan di bawah Presiden, maka Presiden perlu langsung mengawasinya.”
Pengawasan jaksa oleh Komisi Kejaksaan, nilai Hendardi, juga tidak efektif. “Komisi Kejaksaan juga tak punya wewenang terlalu besar dalam pengawasan. Komisi Kejaksaan juga harus mendorong proses pengusutan jaksa dan terus menyuarakan progresnya. Presiden harus turun langsung melakukan pengawasan terhadap jaksa,” katanya.
Jaksa Agung Muda Sudah Periksa Lima Jaksa
Written By Tribunekompas.com on Sabtu, 31 Maret 2012 | 5:30:00 PM
Label:
HUKUM
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !