Headlines News :
Home » » Penyidik Korek Tiga Saksi Proyek Lingkungan Fiktif

Penyidik Korek Tiga Saksi Proyek Lingkungan Fiktif

Written By Tribunekompas.com on Selasa, 20 Maret 2012 | 10:41:00 AM

JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)
By: Anto.


- Penyidik Kejaksaan Agung memanggil delapan saksi perkara proyek fiktif pemulihan lingkungan. Total nilai proyek itu 270 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,43 triliun.

Delapan orang yang dijad­wal­kan tim penyidik untuk diperiksa ke­marin adalah AZ, GM, HD, YD, YP, FY, HAF dan CF. “Me­reka diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi. Yang hadir hanya tiga orang,” ujar Kepala Pusat Pe­ne­rangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Ke­ja­gung) M Adi Toe­ga­ris­man, ke­marin.

Pada Jumat lalu (16/3) Ka­puspenkum telah menyampaikan adanya penyidikan dalam pe­na­nganan perkara tersebut. Tim penyidik juga telah menetapkan tu­juh tersangka kasus yang di­per­kirakan merugikan keuangan ne­gara setidaknya Rp 200 miliar ini.

Tujuh tersangka tersebut ber­ini­sial ER, WB, KK, HL, RP, AT dan DAF. Lima tersangka berasal dari PT CPI, sedangkan dua ter­sangka lainnya berasal dari pi­hak swasta. “Tim penyidik sudah me­netapkan tujuh tersangka atas kasus itu,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jam­pid­sus) Andhi Nirwanto di Kejak­saan Agung, Jakarta.

Menurut Adi Toegarisman, se­mestinya perusahaan mul­ti­na­sional, PT Chevron Pasific In­do­nesia (CPI) melakukan pe­mu­lihan lahan bekas eksplorasi dan eksploitasi tambang mereka di Riau. Akan tetapi, PT CPI mem­percayakan proyek pemulihan ling­kungan dengan meng­gu­nakan teknologi bioremediasi itu, dilaksanakan PT Green Planet In­donesia dan PT Sumigita Jaya melalui tender dan penunjukan.

Persoalannya, lanjut Kapus­pen­kum, kedua perusahaan ter­sebut tidak memenuhi klasifikasi tek­nis dan sertifikasi dari pejabat ber­wenang sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pe­ngo­lahan limbah. Kedua perusahaan itu hanya kontraktor umum, sehingga dalam pelaksanaannya, proyek tersebut fiktif belaka.

Pembayaran atas pengerjaan proyek tersebut, menurut Adi, di­ajukan ke Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bu­mi (BP Migas). Pengajuan pem­ba­yaran tersebut dilakukan se­telah pengerjaan proyek. “Tapi, pe­kerjaan yang namanya bio­remediasi ini fiktif. Tidak di­kerjakan. Padahal, cost recovery-nya itu diajukan ke BP Migas,” tan­das dia.

Kata Adi, cost recovery ter­se­but dikeluarkan BP Migas, sesuai perjanjian antara BP Migas dan PT Chevron Pasific Indonesia. “Chevron ini kan ada bekas tam­bangnya, ada limbahnya. Ling­kung­an bekas tambang tersebut harus dikembalikan lagi seperti semula, dan dikerjakan dalam kurun tahun 2006 sampai tahun 2011,” ujarnya.

Menurutnya, para tersangka men­jalani pemeriksaan mulai pe­kan ini. Namun, sementara ini tersangka dari BP Migas belum ada.

Kata Jampidsus Andhi Nir­wanto, penyidik telah melakukan penyidikian mengenai anggaran kegiatan pemulihan lingkungan di Riau tersebut. Kegiatan bio­re­mediasi itu merupakan upaya untuk menormalisasi kembali ta­nah yang telah terkena pen­ce­maran lingkungan akibat pe­nam­bangan minyak oleh Chevron.

Setelah adanya laporan dari masyarakat dan penyidik me­lakukan pendalaman, ditemukan ada­nya indikasi tindak pidana ko­rupsi. Soalnya, kegiatan re­me­diasi bertahun-tahun tersebut fiktif dan merugikan negara se­kitar Rp 200 miliar.

Bermula Dari Perjanjian BP Migas Dan Chevron

Reka Ulang


Perkara dugaan korupsi kasus proyek fiktif pemulihan ling­kung­an ini, berawal dari per­janjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bu­mi (BP Migas) dan Chevron. Salah satu poin perjanjian itu me­ngatur tentang biaya untuk me­lakukan pemulihan lingkungan (cost recovery) dengan cara bio­re­mediasi.

Akan tetapi, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejak­sa­an Agung M Adi Toe­ga­risman, kegiatan bioremediasi yang seharusnya dilakukan sela­ma perjanjian berlangsung, tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron, yaitu PT GPI dan PT SJ.

Padahal, anggaran untuk pro­yek bioremediasi itu sudah di­cairkan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar Amerika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 miliar,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.

Menurut Adi, penyelidikan atas kasus proyek fiktif ini di­mulai sejak Oktober 2011 ber­dasarkan laporan masyarakat. Ke­mudian, penyi­dik­annya ber­dasarkan Surat Perintah Pe­nyidikan (Sprindik) yang dike­luarkan pada 12 Maret 2012.

Tujuh tersangkanya adalah ER, WB, KK, HL, RP, AT, dan DAF. Sprindiknya dibagi tiga. Untuk tersangka HL nomor 26/F.2/FD.1/03/2012, tersangka ER, WB dan KK Sprindik nomor 27. Sedangkan tersangka RT, AT, dan DAF Sprindik nomor 28.

PT Chevron Pasific Indonesia yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi, tidak tinggal diam menghadapi sangkaan yang di­lontarkan Kejaksaan Agung. Per­usahaan multinasional ini, me­nampik pernyataan pihak Ke­jak­saan Agung bahwa ang­gar­an pro­yek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 triliun.

“Tidak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar,” kata Vice President Policy Government and Public Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yanto Sianipar.

Lantaran itu, Yanto mengaku bi­ngung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak Kejak­saan Agung dan angka kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar.

Namun, Yanto menegaskan pi­haknya tetap akan mengikuti se­gala prosedur hukum yang ber­laku.

“Saya tidak tahu menahu ang­ka-angka yang dikeluarkan Ke­jaksaan Agung. Yang pasti, ka­mi memiliki seluruh data terkait proyek bioremediasi dan akan kami jelaskan selama berjalannya pemeriksaan,” kata dia.

Dia menjelaskan, kasus ini ber­awal dari perjanjian antara BP Mi­gas dengan Chevron. Pada per­janjian tersebut juga ada pem­bagian yang mengatur mengenai biaya untuk melakukan biore­mediasi (cost recovery).

Penyidik kejagung menduga proyek pelaksanaan Biore­me­diasi oleh PT Green Planet Indo­nesia dan PT Sumigita Jaya tidak dijalankan atau fiktif. Sedangkan anggaran untuk proyek bio­re­mediasi atau cost recovery yang su­dah dicairkan BP Migas se­besar 23 juta dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar. Lantaran itu, tim pe­nyidik menduga anggaran se­nilai Rp 200 miliar tersebut me­rugikan kas negara.

Permainan Pejabat Patut Ditelisik

Hendrik Siregar, Aktivis JATAM


Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Hendrik Si­regar menyampaikan, keka­cau­an kepengurusan biaya pe­mu­lihan lingkungan (cost re­co­very) bekas pertambangan, pa­tut diduga sering dise­le­weng­kan pejabat dan pihak per­usa­haan. “Persoalan seperti ini sudah berulang kali,” katanya, kemarin.

Bahkan, menurut Hendrik, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) su­dah berulang kali mengaudit. “Ta­pi, hasil audit itu didiamkan saja,” ujarnya, kemarin.

Menurut Hendrik, biaya yang dimanipulasi itu disebabkan kegagalan pemerintah dalam pe­ngaturan cost recovery. “Bu­kan kali ini saja biaya pe­mu­lihan itu disimpangkan pihak-pihak terkait,” tandasnya.

Lantaran itu, dia me­ng­ingat­kan agar pihak Kementerian ESDM, BP Migas dan Ke­men­terian Keuangan men­se­riusi laporan BPKP.

Selain kelemahan aturan dalam cost recovery, lanjut Hen­drik, pihak perusahaan ti­dak bisa lepas tanggung jawab. “Patut diduga, ada juga per­mainan pejabat dalam melak­u­kan proyek fiktif, ada item yang dihilangkan dan dimanipulasi,” ujarnya.

Kasus seperti ini, katanya, ber­mula dari pembayaran per­usa­haan kepada pemerintah. “Biaya atau cost recovery itu diajukan ke pemerintah, inilah yang disetorkan ke Ke­men­te­rian Keuangan. Kemudian, di­ke­luarkan untuk pemulihan. Mo­delnya begitu,” ujar Hendrik.

Dalam urusan seperti ini, kata Hendrik, pihak BP Migas ber­alasan bahwa mereka hanya mengatur distribusi dan perizin­an. “Sedangkan proses kontrol dan evaluasi tidak, demikian juga ESDM,” ujarnya.

Sebesar 20-30 persen pen­da­patan dari sektor Migas, lan­jutnya, dipotong cost recovery, maka sangat kecil yang masuk ke negara. “Saya kira, pihak per­pajakan juga punya tugas me­meriksa pajak para per­usa­haan itu. Ada 17 perusahaan mi­gas dicantumkan BPK me­nung­gak pajak,” ucapnya.

Jika memang aparat penegak hukum serius mengusutnya, nilai Hendrik, hal itu meru­pa­kan langkah positif, asalkan pe­nanganannya tidak mangkrak se­perti sejumlah kasus di Ke­jak­saan Agung. “Saya dukung upa­ya mengusut dan me­ngem­balikan duit yang dikemplang, serta menghukum pelaku seb­e­rat-beratnya yang telah me­ma­nipulasi cost recovery,” katanya.

Kemudian, kata dia, mereka juga harus mengembalikan cost recovery. “Negara harus secara cer­mat menangani cost reco­ve­ry supaya tidak dimanipulasi terus, lalu aturan dan undang-un­dang­nya diperbaiki. Undang Undang Migas misalnya,” ucap dia.

Sudah Lama Kenapa Baru Diungkap Sekarang

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR


Bagi anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi, ka­sus proyek pemulihan ling­kungan fiktif seperti ini sung­guh mencurigakan. Sebab, ber­tahun-tahun modus itu terjadi, dari 2006 sampai 2011, namun baru sekarang diungkap.

“Pasti ada sesuatu yang perlu dipertanyakan. Apa kerjanya BP Migas dan kejaksaan selama ini? Kok baru diusut, padahal su­dah berlangsung bertahun-ta­hun. Jangan-jangan ada kong­kalikong,” tegas Andi, kemarin.

Kejaksaan Agung, lanjutnya, harus cepat mengusut kasus itu serta kasus sejenis. “Harus ce­pat prosesnya. Segera tahan saja para tersangkanya. Jika tak se­gera, justru patut dicurigai ada apa-apanya,” tandas dia.

Kemudian, kata Andi, para tersangka jangan hanya sekelas bawahan. “Mudah-mudahan ter­sangkanya jangan hanya kor­ban, jangan hanya untuk me­nutupi tersangka yang lain,” ujarnya.

Pengusutan yang dilakukan Kejaksaan Agung, kata Andi Rio, juga harus bisa mengem­ba­likan kerugian negara. “Apa benar kerugian negaranya ha­nya segitu. Bisa tidak me­ngem­balikan kerugian negara ini,” ucapnya.

Dia menyampaikan, pim­pin­an dan penyidik Kejaksaan Agung tidak boleh tebang pilih da­lam mengusut kasus ini. “Sia­pa pun yang terlibat harus di­usut. Kalau mereka tidak sang­gup, serahkan ke KPK saja,” sarannya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

.

.

BERITA POPULAR

 
Copyright © 2015. TRIBUNEKOMPAS.COM - All Rights Reserved
Published by Tribunekompas.com