JAKARTA, TRIBUNEKOMPAS.
By: Tommy.
-Bukannya pilih-pilih bila Moch. Firdaus menolak berbagai tawaran pekerjaan di sejumlah perusahaan swasta, empat tahun silam. Saat itu, pria berusia 44 tahun ini baru saja menggondol gelar master bidang Kesejahteraan Anak Internasional dari University of East Anglia, Norwich, Inggris, dengan beasiswa dari Ford Foundation.
"Saya merasa, setelah lulus kuliah, saya mesti bantu anak miskin yang tak punya kesempatan sekolah. Bagaimana caranya saya bisa bikin mereka sekolah lagi," ujarnya saat ditemui di kantor Yayasan Remaja Masa Depan, Tebet Dalam, Jakarta Selatan, Senin lalu. Ia membangun Yayasan Remaja Masa Depan yang mengurus panti asuhan dan bimbingan belajar gratis untuk anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu, aksi lanjutan yang telah dia lakukan sebelumnya.
Pengalaman hidupnya yang getir menjadi alasan utamanya. Pada 1970-an, Firdaus kecil mesti mencari duit dengan menjadi kuli angkut dan bangunan demi membiayai sekolahnya.
Sedangkan saat SMP dan SMA, Firdaus membayar ongkos sekolahnya dengan menjadi loper koran. Juga ketika diterima menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia pada 1988, Firdaus membiayai kuliahnya dengan tambahan pekerjaan sebagai tukang parkir.
Orang tua Firdaus memang jauh dari kata “berada”. Bersama orang tua dan adik-adiknya, sulung tujuh bersaudara itu dulu tinggal di rumah papan petak berukuran 3 x 3 meter di sebuah kampung di Tebet. Saking mungilnya tempat tinggal mereka, Firdaus pun memilih numpang tidur di jalanan ataupun di masjid dekat rumahnya.
Ayah yang pengangguran dan sang ibu yang hanya seorang buruh cuci, tidak memungkinkan Firdaus bersekolah jika tidak mencari duit sendiri. "Kalau ada tingkatan miskin, miskinnya keluarga saya tergolong parah. Untuk makan saja, saya mesti mencari di tong sampah atau menggoreng makanan basi," kata dia.
By: Tommy.
-Bukannya pilih-pilih bila Moch. Firdaus menolak berbagai tawaran pekerjaan di sejumlah perusahaan swasta, empat tahun silam. Saat itu, pria berusia 44 tahun ini baru saja menggondol gelar master bidang Kesejahteraan Anak Internasional dari University of East Anglia, Norwich, Inggris, dengan beasiswa dari Ford Foundation.
"Saya merasa, setelah lulus kuliah, saya mesti bantu anak miskin yang tak punya kesempatan sekolah. Bagaimana caranya saya bisa bikin mereka sekolah lagi," ujarnya saat ditemui di kantor Yayasan Remaja Masa Depan, Tebet Dalam, Jakarta Selatan, Senin lalu. Ia membangun Yayasan Remaja Masa Depan yang mengurus panti asuhan dan bimbingan belajar gratis untuk anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu, aksi lanjutan yang telah dia lakukan sebelumnya.
Pengalaman hidupnya yang getir menjadi alasan utamanya. Pada 1970-an, Firdaus kecil mesti mencari duit dengan menjadi kuli angkut dan bangunan demi membiayai sekolahnya.
Sedangkan saat SMP dan SMA, Firdaus membayar ongkos sekolahnya dengan menjadi loper koran. Juga ketika diterima menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia pada 1988, Firdaus membiayai kuliahnya dengan tambahan pekerjaan sebagai tukang parkir.
Orang tua Firdaus memang jauh dari kata “berada”. Bersama orang tua dan adik-adiknya, sulung tujuh bersaudara itu dulu tinggal di rumah papan petak berukuran 3 x 3 meter di sebuah kampung di Tebet. Saking mungilnya tempat tinggal mereka, Firdaus pun memilih numpang tidur di jalanan ataupun di masjid dekat rumahnya.
Ayah yang pengangguran dan sang ibu yang hanya seorang buruh cuci, tidak memungkinkan Firdaus bersekolah jika tidak mencari duit sendiri. "Kalau ada tingkatan miskin, miskinnya keluarga saya tergolong parah. Untuk makan saja, saya mesti mencari di tong sampah atau menggoreng makanan basi," kata dia.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !