Headlines News :
Home » » Temuan BPK Terkait Perjalanan Dinas di Lembaga Negara, 18 Satker Kemenakertrans Berpotensi Rugikan Negara 4,7 Miliar

Temuan BPK Terkait Perjalanan Dinas di Lembaga Negara, 18 Satker Kemenakertrans Berpotensi Rugikan Negara 4,7 Miliar

Written By Tribunekompas.com on Minggu, 23 Oktober 2011 | 6:07:00 AM

JAKARTA, (Tribunekompas)
By: Tommy.

- Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya anggaran perjalanan dinas di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang belum dipertanggungjawabkan. Akibatnya, berpotensi merugikan negara Rp 4,7 miliar.

Hal ini diketahui dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2011 Badan Pemeriksa Keuang­an ((IHPS-I 2011 BPK) yang diserahkan ke DPR pada 5 Okto­ber lalu.

Dalam IHPS tersebut terung­kap, pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas pada beberapa satker tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 4,75 miliar. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Ke­menakertrans Tahun 2010 meng­ungkapkan realisasi perjalanan dinas sebesar Rp 493 miliar atau 88,43 persen dari anggaran sebe­sar Rp 557,6 miliar.

Dari realisasi perjalanan dinas tersebut, tim melakukan pemerik­saan secara uji petik sebesar Rp 112,66 miliar untuk menguji ke­patuhan satker pada peraturan perundangan terkait perjalanan dinas dan eksistensi transaksi pengeluaran belanja perjalanan dinas pada satker di lingkungan Sekretariat Jenderal, Ditjen Pem­binaan Penempatan Tenaga Kerja (PPTK), Ditjen Pembinaan Hu­bungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHI dan Jamsos), Ditjen Pembinaan Pem­bangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT), Badan Penelitian Pe­ngem­bangan dan Informasi (Ba­litfo), dan Ditjen Pembinaan Pe-la­tihan dan Produktivitas (Bi-nalattas).

Rinciannya, Biro Perencanaan Rp 6,6 miliar, Biro Keuangan Rp 16,4 miliar, Biro Hukum Rp 1,4 miliar, Biro Umum Rp 6,4 miliar, Pusat Perencanaan Tenaga Kerja Rp 2,8 miliar, Sekretariat Ditjen PHIJSK 14,5 miliar, Direktorat PKKAD Ditjen PHIJSK Rp 5,2 mi­liar, dan Dit. PTPP Ditjen P2KT Rp 7,8 miliar.

Selanjutnya adalah Dit. PTT Ditjen P2KT Rp 7,1 miliar, Dit. FPT Ditjen P2KT Rp 6,2 miliar, Dit. PIK Ditjen P2KT Rp 5,2 mi-liar, Pusdatinaker Balitfo Rp 1,5 miliar, Pusdatintrans Balitfo Rp 1,4 miliar, Setditjen Binalattas Rp 6,4 miliar, Dit. Standarisasi Kom­petensi Program Pelatihan Ditjen Binalattas Rp 7,59 miliar, Dit. Bina Lembaga Dan Sarana Pela­tihan Kerja Ditjen Binalattas Rp 8,9 miliar, Dit. Bina Pemagangan Ditjen Binalattas Rp 3,6 miliar, serta Dit. Produktivitas Ditjen Binalattas Rp 2,9 miliar.

Hasil pemeriksaan atas bukti perjalanan dinas yang diajukan sebagai dokumen pertanggung­ja­waban (tiket, kuitansi hotel, SPM dan SP2D), penelusuran pada Active Flight Schedule di PT Angkasa Pura II. Hasil kon­fir­masi pada manifest maskapai pe­nerbangan (Garuda Indonesia, Lion Air, Batavia Air, Merpati Air, dan Sriwijaya Air), dan hasil kon­firmasi kepada para pegawai ter­kait serta pelaksana kegiatan menunjukkan, biaya perjalanan dinas sebesar Rp 4,7 miliar tidak sesuai ketentuan.

Pertama, terdapat pembayaran perjalanan dinas ganda pada Dit. PTKLN dan Disnakertrans Pro­vinsi Kalimantan Tengah sebesar Rp 22 juta. Beberapa pegawai telah melakukan perjalanan dinas pada tanggal yang sama tetapi ber­beda tujuan dan kegiatan. Per­masalahan tersebut ditemukan di Dit. PTKLN dan Disnakertrans Pro­vinsi Kalimantan Tengah.

Bendahara Pengeluaran telah membayar perjalanan tersebut masing-masing sebesar Rp 9.4 juta, dan Rp 12,6 juta berdasarkan bukti kuitansi dan rincian per­hitungan biaya perjalanan dinas.

Pemeriksaan terhadap doku-men pertanggungjawaban perja­lanan dinas menunjukkan bahwa pembayaran biaya transport luar kota pada Direktorat PTKLN ter­sebut tanpa disertai bukti per­tanggungjawaban.

Selanjutnya hasil konfirmasi kepada pegawai yang melakukan perjalanan dinas ganda pada Direktorat PTKLN mendapatkan hal-hal sebagai berikut.

Dalam Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Perjalanan Dinas, perjalanan dinas dalam rang­ka kegiatan Implementasi Kebijakan Penempatan TKLN di Purwodadi dan Penyusunan Juk­nis Penempatan TKI di Ka­wasan Timar Tengah di Blitar dilaksa­nakan pada tanggal 5-7 Agustus 2010.

Berdasarkan pengakuan pega­wai yang bersangkutan perja­lanan dinas ke Blitar dilaksa­nakan pada tanggal 5-7 Agustus 2010, se­dangkan perja­lanan dinas ke Pur­wodadi pada tanggal 18-20 Agustus 2010. Namun demikian, pertang­gung­ja­waban biaya ako­modasi/pengi­napan (kuitansi ho­tel) di kedua lokasi menun­jukkan tanggal yang sama (tanggal 5-7 Agustus 2010). Menurut ke­te­rangan pega­wai yang ber­sang­ku­tan, tanggal akomodasi di­se­suai­kan/dibuat se­suai tanggal da­lam Surat Perintah Tugas.

Kemudian, biaya transport luar kota tidak disertai bukti pendu­kung pengeluaran/pertang­gung­jawaban. Berdasarkan keterangan transport luar kota, kedua per­jalanan dinas tersebut dilak­sana­kan dengan menggunakan kereta api, namun tiket kereta api tidak dipertanggungjawabkan karena tiket telah diserahkan kepada pe­tu­gas di stasiun setempat.

Pembayaran perjalanan dinas ganda tersebut mengakibatkan terjadinya kelebihan pembayaran perjalanan dinas sebesar Rp 16,9 juta, dengan rincian Rp 4,3 juta pada Satker Dit. PTKLN, dan Rp 12,6 juta pada Satker Disna­ker­trans Provinsi Kalimantan Te-ngah) yang harus disetorkan kembali ke Kas Negara.

Kedua, pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas sebesar Rp 4,7 miliar tidak sesuai bukti per­jalanan dinas yang sebenar­nya. Dari hasil konfirmasi bukti transport luar kota dengan meng­gunakan moda transportasi udara kepada maskapai penerbangan terkait (Garuda, Lion Air, Batavia Air, Sriwijaya Air, Merpati Air), dan penelusuran terhadap daftar Active Flight Schedule PT Ang­kasa Pura II, BPK menemukan sejumlah tiket penerbangan yang digunakan sebagai dasar pem­bayaran biaya perjalanan dinas bukan merupakan tiket yang valid, sebab tidak sesuai dengan daftar manifest yang dikeluarkan oleh maskapai penerbangan, serta tidak sesuai dengan Active Flight Schedule PT Angkasa Pura II.

Nilai pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas di 18 sat­ker yang tidak sesuai dengan daf­tar manifest mas­kapai dan Active Flight Schedule PT Angkasa Pura II adalah sebesar Rp 4,7 miliar. Nilai ter­sebut mencakup nilai tiket, biaya ako­modasi, dan uang harian.

Selanjutnya konfirmasi terkait masalah tersebut kepada satker, baik KPA, PPK, penanggung ja­wab kegiatan, Bendahara Penge­lua­ran, dan pegawai yang nama­nya tercantum dalam dokumen pertanggungjawaban perjalanan dinas menunjukkan, adanya kegiatan perjalanan dinas sebe­sar Rp 160 juta di enam satker di­akui tidak dilaksanakan (fiktif).

Se­bagian satker menyatakan, biaya perjalanan dinas yang tidak dilak­sanakan tersebut digunakan un­tuk biaya operasional satker yang tidak tertampung di ang­garan (DIPA), namun satker tidak me­nunjukkan bukti pendukung kegiatan dimaksud. Terhadap kegiatan perjalanan di­nas yang tidak dilaksanakan ter­sebut, satker bersedia mengem­ba­likan ke kas negara.

Menurut BPK, masalah perja­la­nan dinas ini telah melanggar Keppres No. 42 Tahun 2002 Pasal 12 ayat (2) dan Peraturan Direk­tur Jenderal Per­bendaharaan Nomor: Per 21/PB/2008 tentang Petunjuk Pe­lak­sanaan Perjalanan Dinas Jaba­tan Dalam Negeri Bagi Pejabat Ne­gara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap.

Hal tersebut mengakibatkan ke­lebihan pembayaran biaya per­jalanan dinas sebesar Rp 177,77 juta (Rp 160 juta + Rp 4.3 juta + Rp 12.6 juta), dan biaya per­jala­nan dinas belum di perta­ng­gung­jawabkan sesuai keten­tuan sebe­sar Rp 4,57 miliar (Rp 4.56 miliar + Rp 5.8 juta).

Menurut BPK, hal itu dise­babkan itikad tidak baik pe­laksana kegiatan dalam mem­per­tanggung­jawabkan biaya per­jalanan dinas, tidak adanya stan­dar biaya khusus terkait perjalan di­nas ke kawasan transmigrasi atau daerah terpencil lainnya. Pe­jabat Pembuat Komit­men (PPK) dan Bendahara Penge­luaran tidak cer­mat dalam mem­verifikasi bukti per­­tang­gungja­waban dan mem­ba­yar biaya per­jalanan dinas tidak op­ti­mal, serta pengawasan dan pengen­dalian oleh KPA tidak optimal.

Kadang Tidak Ada Manfaatnya

Arif Puoyono, Ketua FSP BUMN Bersatu


Ketua Forum Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arif Puoyono, meminta agar BPK melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap perjalanan dinas di Kemena­ker­trans. Setahu dia, penye­le­we­nang­an anggaran program itu kerap terjadi di banyak lem­baga negara.

“Pejalanan dinas yang dila­kukan kementerian kadang ma­lah tidak ada manfaat­nya,” ka­ta Arif di Jakarta, kemarin.

Dikatakan, penyimpangan se­perti ini biasanya terjadi de­ngan cara memanipulasi skema pe­nge­luaran, dan penggu­na­naan dana dengan cara tidak mem­berikan bukti yang benar.

“Ini bisa dikata­kan menyim­pang, bila ada kegia­tan biro­krasi, yang seharusnya be­rang­kat lima orang, tetapi ke­nya­­taan­nya hanya 1 orang. De­ngan begitu, mereka melakukan pe­nyimpangan de­ngan modus me­manipulasi pe­ngeluaran da­na,” terangnya.

Dikatakan, BPK perlu me­ngam­bil langkah nyata un­tuk menyikapi hasil temuan ter­sebut. Menurutnya, hal itu perlu dilaku­kan agar bisa memberi­kan dam­pak yang positif terha­dap laporan keuangan di selu­ruh instansi nan­tinya, sekaligus untuk menghin­dari adanya ke­rugian negara.

“Sebaiknya tidak hanya di atas kertas. Kalau tidak ada tindakan nyatanya, percuma saja. Setiap ta­hun tidak akan ada perbaikan di instansi mana pun. Apalagi kasus seperti ini bu­kan yang per­tama kali ter­jadi,” jelasnya.

Guna mendorong pembena­han tersebut, BPK bisa memas­tikan temuannya terjadi karena kesala­han administrasi, atau ada ke­mung­kinan pidana. Kalau ada kemung­kinan pidana, maka BPK harus se­gera berkoor­dinasi de­ngan Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyelidikan inten­sif. Sementara kalau memang tidak ada, BPK harus mere­ko­mendasikan kepada Menaker­trans ataupun Komisi IX DPR untuk mem­berikan sanksi tegas terha­dap peja­bat terkait. Tujuan­nya agar ma­salah seperti ini tidak terulang lagi.

“Jangan gara-gara setiap ins­tansi memiliki hak untuk meng­klar­ifikasi, dan menye­lesaikan ma­salah ini secara intern, lalu se­mua kasus bisa diselesaikan se­cara ad­mi­nistratif. Aparat yang ber­wenang harus tetap diminta per­tanggung­jawaban­nya,” ung­kap Arif.

Dikatakan, sejak dulu kinerja Kemenakertrans memang sela­lu buruk. Ia memper­tanyakan masa­lah penanganan hubungan indus­trial, antara buruh dengan pihak perusahaan.

Menurutnya, selama ini hu­bu­ngan antara pekerja dan pi­hak perusahaan relatif tidak har­mo­nis. Bahkan dalam banyak kasus terlihat kalau kaum pe­ker­ja ke­rap dirugikan. “Dalam hal ini pe­me­rintah juga terlihat kurang si­gap untuk menangani masalah ter­sebut,” kritik Arif.

Kekurangan tenaga penga­was seharusnya tidak dijadikan alasan lambannya penanganan hu­bu­ngan industrial antara pe­kerja dengan pihak perusahaan. Bila pemerintah berani mene­rapkan peraturan dengan tegas, pasti se­tiap perusahaan akan berfikir ulang untuk membuat masalah.

“Kalau ketahuan ada perusa­haan yang bermasalah, lalu terbukti pihak perusa­haan yang salah dan diberikan sanksi tegas, pasti me­reka akan jera. Dengan begitu perusahaan lain pun pasti akan takut untuk mengikuti,” tukasnya.

Sudah Sewajarnya Dipertanggungjawabkan

Rieke Diah Pitaloka, Anggota Komisi IX DPR


Sudah menjadi kewajiban BPK untuk memastikan agar hasil pemeriksaannya ditindak­lanjuti lembaga yang menjadi terperiksa, dan menjadi kewa­jiban lembaga terperiksa untuk memberikan bukti pertang­gung­jawaban kegiatannya.

“Dana yang mereka gunakan untuk kegiatan, termasuk per­jalanan dinas itu kan uang ne­gara. Jadi sudah sewajarnya jika mereka mempertang­gung­jawabkannya,” kata anggota Komisi IX DPR Rieke Dyah Pitaloka, kemarin.

Anak buah Megawati Soe­karno Putri ini mengung­kap­kan, masalah laporan keuangan ini hanya salah satu contoh bu­ruknya kinerja Kemena­ker­trans.

Selama ini, kata dia, Keme­na­kertrans belum berhasil men­jalankan banyak tugas yang di­embannya. Misalnya saja pem­­bukaan lapangan kerja, per­­lindungan ketenaga­kerja­anan di Indonesia, dan luar ne­geri.

“Pa­dahal Kemenakertrans seha­rusnya menjadi garda ter-de­pan di sektor ketenagaker­jaan,” tu­tur­nya.

Wakil rakyat dari daerah pe­milihan Jawa Barat ini juga me­nyoroti keseriusan peme­rin­tah da­lam hal RUU Badan Penge­lola Jaminan Sosial (BPJS).

Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR ini menerima hasil au­dit BPK terhadap Ke­me­na­kertrans tersebut, karena masih di­bahas di Badan Akun­tabilitas Ke­­uangan Negara DPR. “Tapi da­lam rapat Komi­si IX DPR dan Ke­­me­nakertrans nanti. pasti akan sa­ya tanya­kan,” pung­kas Rieke.

Membutuhkan Tambahan Wewenang

Eva Kusuma Sundari, Anggota BAKN DPR


Saat ini setiap anggota ang­gota Badan Akuntabilitas Ke­ua­ngan Negara (BAKN) DPR masih melakukan kajian in­ten­sif terhadap semua hasil audit yang menjadi tanggung jawab­nya.

Sebagai masukan, menurut ang­gota BAKN DPR Eva Ku­suma Sundari, saat ini BAKN sedang mem­­bandingkan hasil kajian BAKN semester lalu dengan hasil kajian BAKN Australia.

“Kesimpulannya, format kajian dan resume BAKN di­nilai kurang bagus. Meka­nisme kerja dan format laporan yang disampaikan kepada komisi kurang persuasif,” kata Eva.

Anggota Komisi III DPR ini meminta agar nantinya setiap Komisi DPR lebih sigap lagi dalam menindaklanjuti reko­men­dasi BAKN, yang merupa­kan hasil audit BPK. Pasalnya ia menilai, semester lalu tindak lanjutnya masih agak terlam­bat.

“Memang pada akhirnya se­muannya ditindaklanjuti. Ka­mi senang dengan hal itu. Tapi alangkah baiknya jika nanti­nya tindaklanjutnya lebih ce­pat lagi,” ujar anak buah Me­gawati ini.

Dikatakan, walaupun be­la­kangan ini respons dari Komisi terhadap hasil kajian mereka relatif bagus, namun menurut­nya, BAKN tetap saja membu­tuhkan penambahan wewe­nang, guna memastikan ditin­dak­­lan­jutinya hasil audit BPK.

“Jang­an sampai masalah se­perti ini terulang lagi. BAKN itu kan dibentuk dengan tujuan su­paya ha­sil audit BPK ditin­dak-lan­juti,” katanya.

Anggota DPR dari daerah pe­­milihan Jawa Timur ini menam­bahkan, BAKN akan berusaha secepatnya melaku­kan pemba­ha­san tahap akhir terhadap hasil au­dit BPK pada semester I-2011. Setelah pem­ba­hasan ter­se­but, BAKN akan membuat resume ha­sil peme­riksaan BPK yang ha­rus ditin­daklanjuti se­mua Komisi.

“Kita akan berusaha sece­patnya melakukan finalisasi, lalu membuat resume yang ha­rus ditindaklanjuti semua Ko­misi. Saya harap setiap Ko­misi bisa secepatnya menin­dak­lanjuti hasil laporan kita terse­but,” pungkasnya.

Yang Mengurus Biasanya Staf di Satuan Kerja


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui surat Nomor: B.137/MEN/SJ-KU/VI/2011 tanggal 17 Juni 2011 pe­rihal Kesanggupan Melak­sanakan Rekomendasi Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK menya­takan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mene­rima seluruh rekomendasi yang telah disam­pai­kan BPK dan sanggup melak­sanakan reko­men­dasi tersebut.

Disnakertrans Provinsi Kali­mantan Tengah sependapat de­ngan temuan BPK dan bersedia untuk mengembalikan biaya per­­jalanan dinas sebesar Rp 12,6 juta, Pimpinan Ditjen PPTK akan mengembalikan biaya transport luar kota tanpa bukti pertang­gung­jawaban se­besar Rp 5,8 juta, dan perja­lanan dinas ganda se­besar Rp 4,3 juta. Satker lain yang terkait akan mengembalikan perjala­nan dinas yang tidak dilak­sana­kan, dan mempertanggung­ja­wabkan perjalanan dinas sesuai bukti yang valid.

Saat dikonfirmasi, Juru bicara Kemenakertrans Dita Indah Sari mengaku belum mengeta­hui pe­ri­hal tindaklanjut terha­dap ha­sil audit tersebut.

Menurutnya, soal pengurusan per­jalanan dinas sepenuhnya ada pa­da tiap satuan kerja terkait. “Ma­salah itu teknis sekali. Bia­sanya kan yang mengurus ma­salah itu staf di Satker. Jadi saya tidak mengeta­hui­nya,” ujar Dita singkat.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

.

.

BERITA POPULAR

 
Copyright © 2015. TRIBUNEKOMPAS.COM - All Rights Reserved
Published by Tribunekompas.com