Headlines News :
Home » » KPK Bersiap Periksa Nazar Sebagai Tersangka Lagi

KPK Bersiap Periksa Nazar Sebagai Tersangka Lagi

Written By Tribunekompas.com on Senin, 23 April 2012 | 5:27:00 AM

JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)
By: Tommy.

- Setelah
dijatuhi hukuman 4 tahun 10 bulan penjara dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet, Nazaruddin mesti bersiap-siap diperiksa penyidik KPK sebagai tersangka kasus pencucian uang.

Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu masih harus menghadapi sejumlah kasus yang men­jeratnya dan tengah di­kem­bangkan KPK. Salah satunya ada­lah perkara tindak pidana pen­cucian uang dengan pembelian saham PT Garuda Indonesia. Da­lam kasus ini, Nazaruddin sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Prabowo, da­lam waktu yang tidak lama, pe­nyidik akan memanggil dan me­meriksa Nazar terkait kasus pen­cucian uang itu. “Pemeriksaan saksi dilakukan, termasuk nanti tersangkanya akan diperiksa,” ujar­nya pada Jumat lalu (20/4).

Tapi, Johan belum bisa memas­tikan jadwal pemeriksaan Na­za­ruddin sebagai tersangka kasus pencucian uang dengan pem­be­lian saham Garuda itu. Kendati begitu, KPK sudah bersiap-siap untuk memeriksa Nazar sebagai tersangka lagi. “Belum ketahuan kapannya. Prinsipnya, kalau bisa, ya segera,” kata dia.

Sudah beberapa pekan ini, KPK memanggil para saksi kasus pencucian uang yang disangka merupakan hasil korupsi itu. Pada Senin lalu (16/4) misalnya, pe­nyi­dik mengorek keterangan Lau­rentius Teguh dari PT Duta Graha Indah (DGI) dan Jane Odorlina. “Keduanya adalah saksi,” ujar Johan.

Dari dua saksi yang dijad­walkan untuk diperiksa KPK hari itu, hanya satu orang yang datang, yakni Laurentius. “Jane tidak ha­dir, tapi dia sudah memberi tahu lewat surat pemberitahuan dan izin. Dia akan diperiksa tanggal 24 April,” kata Johan.

Pada Senin, 13 Februari 2012, KPK telah menetapkan status tersangka kasus pencucian uang kepada Muhammad Nazaruddin. “Berdasarkan alat bukti yang ada, KPK menaikkan kasus pem­belian saham PT Garuda melalui Mandiri Securitas ke tahap pe­nyi­dikan. Penggunaan dana itu ter­kait kasus suap Sesmenpora yang berkembang, dengan tersangka MN,” kata Johan.

Nazaruddin disangka me­la­ku­kan pencucian uang karena mem­beli saham PT Garuda Indonesia dengan menggunakan uang hasil tindak pidana korupsi terkait pe­menangan PT DGI sebagai pe­lak­sana proyek Wisma Atlet. Na­za­rud­din sebelumnya didakwa me­ne­­rima suap terkait pemen­angan PT DGI berupa cek senilai Rp 4,6 miliar. “Diduga berasal dari kasus suap Wisma Atlet berkaitan de­ngan PT DGI,” kata Johan.

Pasal yang disangkakan ter­ha­dap Nazaruddin adalah Pasal 12 huruf a atau huruf b, subsider Pa­sal 5 Ayat 2, subsider Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai pidana asal. Lalu, pasal tindak pidana pencucian uang, yaitu Pasal 3, Pasal 4 juncto Pasal 6 Undang-Un­dang Nomor 8 Tahun 2010 ten­tang Tindak Pidana Pencucian uang. Namun, Komisi Pembe­ran­tasan Korupsi belum menambah tersangka baru kasus ini. “Belum ada tersangka baru,” kata Johan.

Indikasi tindak pidana pen­cu­cian uang oleh Nazaruddin ini ter­ungkap dalam persidangan kasus suap pembangunan Wisma Atlet. Bekas Wakil Direktur Keuangan Permai Grup, Yulianis saat ber­sak­si dalam persidangan Naza­ruddin mengungkapkan bahwa Permai Grup memborong saham PT Garuda Indonesia senilai total Rp 300,8 miliar pada 2010. Pem­belian saham perdana PT Garuda Indonesia itu dilakukan lima pe­rusahaan yang merupakan anak pe­rusahaan Permai Grup.
35 Kasus Membelit Nazaruddin

Pada 13 Agustus 2011, Ketua KPK Muhammad Busyro Mu­qod­das menggelar jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta. Dia men­jelaskan sejumlah kasus yang bisa menyeret bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Mu­hammad Nazaruddin.

Dalam bahan pres rilis, di­se­butkan bahwa perkara yang di­du­ga melibatkan Nazaruddin men­capai 35 kasus. Namun, tidak di­sebutkan satu persatu apa saja ka­sus-kasus itu. Busyro Muqoddas berjanji akan terus menyam­pai­kan kepada publik perkembangan pengusutan kasus-kasus itu.

“Kami akan terus bekerja de­ngan penuh tanggungjawab,” kata Busyro yang kini “turun pangkat” menjadi Wakil Ketua KPK.

Selain kasus suap Wisma Atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga, jejak Nazaruddin anta­ra lain terendus dalam kasus du­ga­an korupsi di Kementerian Ke­sehatan, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Te­na­ga Kerja dan Transmigrasi.

Ka­sus-kasus tersebut ada yang di­ta­ngani KPK, Polri dan Ke­jaksaan Agung. Namun, Na­za­rud­din da­lam berbagai kesem­pa­tan mem­bantah melakukan tin­dak pidana korupsi.

Seiring waktu, Johan dijatuhi hu­kuman 4 tahun 10 bulan pen­jara oleh Majelis Hakim Pe­nga­dilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet. Kemudian, dia menjadi tersangka ka­sus pencucian uang hasil ko­rupsi dengan cara pembelian sa­ham perdana PT Garuda Indo­ne­sia. Kasus ini telah ditingkatkan KPK dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.

Sejak 13 Februari lalu, KPK te­lah menjadwalkan mengorek ke­terangan sejumlah saksi kasus pen­cucian uang ini, yakni bekas Wakil Direkur Keuangan Permai Grup Yulianis, bekas staf ke­uangan Permai Grup Oktarina Furi, Di­rektur Keuangan PT Duta Graha Indah Laurencius Teguh Khasanto, dan Direktur PT Man­diri Securitas Harry Maryanto Supoyo.

Pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia terungkap da­lam persidangan kasus suap Wis­ma Atlet SEA Games. Yulianis, saat bersaksi untuk Nazaruddin mengungkapkan, Permai Grup memborong saham PT Garuda Indonesia senilai Rp 300,8 miliar. Pembelian saham tersebut meng­gunakan uang fee yang diterima Permai Grup dari jasa “me­no­long” perusahaan-perusahaan memenangi tender proyek-pro­yek pemerintah.

Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan 150 tran­saksi mencurigakan Naz­arud­din di 16 bank. Menurut Kepala PPATK saat itu, Yunus Husein, 150 transaksi tersebut termasuk dalam kategori transaksi pe­ru­sa­haan. Namun, Yunus enggan membeberkan nama perusahaan apa yang dimaksud.

“Dia kan punya perusahaan banyak sekali, lebih dari 150. Itu tidak di Ke­menpora saja, di tem­pat lain juga banyak,” katanya ke­pada Rakyat Merdeka.

Yunus mengaku tidak menge­ta­hui secara persis berapa jumlah nominal keseluruhan transaksi itu. Yang pasti, katanya, jumlah tran­saksi mencurigakan milik Na­za­ruddin mencapai angka ratu­san mi­liar rupiah. “Wah jangan tanya rin­ciannya. Saya tidak hapal,” ucap­nya.

Ragu Kasus Nazar Tuntas Semua

Nasir Jamil, Wakil Ketua Komisi III DPR


Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil khawatir, pengu­sutan sejumlah kasus korupsi bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Naza­rud­din tidak akan tuntas diker­jakan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sebab, menurut Nasir, tidak mudah bagi KPK untuk mem­bongkar kasus-kasus Naz­a­rud­din sampai tuntas semua. “Saya agak pesimis bahwa kasus-ka­sus Nazaruddin ini akan di­bong­kar habis, karena situasi di internal KPK. Dengan situasi internal KPK, saya pesimis bisa dibongkar tuntas. Apalagi ber­kaitan dengan muatan-muatan politik,” ujarnya.

Menghadapi banyaknya kasus Nazaruddin, lanjut Nasir, ki­nerja Komisi Pemberantasan Korupsi disorot masyarakat luas. “Masalah yang melilit Na­zar ini banyak sekali. Ini men­jadi tantangan bagi KPK,” ujar ang­gota DPR dari Fraksi PKS ini.

Selain kondisi internal KPK yang tidak meyakinkan, lanjut Nasir, sejumlah perkara ber­kaitan dengan Nazaruddin pun masih mengambang. “Misal­nya, Angelina Sondakh belum tuntas seperti apa prosesnya. Ini akan menjadi sorotan publik terus,” katanya.

Kasus-kasus Nazaruddin, lanjut dia, menjadi ujian besar bagi Komisi yang kini diketuai Abraham Samad itu untuk me­nuntaskannya. “Apakah KPK bisa menjawab pesmisime itu. Kita berharap KPK bisa menja­wab­nya. Apalagi ada kepen­tingan-kepentingan yang tidak bisa kita pungkiri ada pada kasus-kasus itu,” katanya.

Nasir menilai, Komisi Pem­berantasan Korupsi sedang ber­golak. Di tengah pergolakan itu muncul pesimisme publik. “Air tenang nyatanya di dalam ber­golak-golak. Saya bilang, se­perti itulah KPK ini. Mereka mesti bisa selesaikan kasus-kasus itu. Hanya itu pembuktian agar pesimisme masyarakat ti­dak semakin menumpuk kepada KPK,” ucapnya.

Semestinya Didakwa Dalam Satu Dakwaan

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum


Wanita yang kerap menjadi saksi ahli kasus pencucian uang, Yenti Garnasih menyam­paikan­, KPK akan keteteran mengusut sejumlah dugaan korupsi Nazaruddin bila tak me­nerapkan sistem pengusutan secara bersamaan.

“Memang kinerja KPK di­per­tanyakan dalam mengusut ka­sus yang melibatkan Na­za­ruddin. Inilah kesalahannya, mestinya penyidik melakukan pengusutan secara berbarengan dan dimasukkan dalam satu dak­waan,” ujar dosen Uni­ver­sitas Trisakti ini.

Menurut Yenti, di dalam hu­kum pidana, apabila seseorang diduga melakukan lebih dari satu kejahatan, semestinya di­dakwa dalam satu dakwaan.

“Se­perti yang terjadi pada Marcos dan Imelda Marcos di Filipina. Mereka didakwa me­lakukan tindak pidana korupsi lebih dari 200 korupsi, dan itu didakwakan dalam satu dak­wa­an,” katanya.

Sedangkan Nazaruddin ke­tika diperkarakan di penga­di­lan, masih ada perkara lain yang juga menjeratnya. “Penyidik seharusnya cepat mencari aliran dananya. Penyidik kita kan ba­nyak. Jadi bisa ditelusuri de­ngan cepat. Inilah tantangan KPK. Kalau saya lawyernya Na­zaruddin, saya tidak mau kasusnya dipisah-pisah. Itu sangat berbelit-belit,” ujarnya.

Kata Yenti, pola penyidikan terpisah yang dilakukan KPK terhadap Nazaruddin malah mengacaukan sistem. Padahal Kitab Undang-Undang Hukum Pi­dana (KUHAP) sudah me­muat aturan yang baku.

“Ke­tidakmampuan KPK ma­lah mengacaukan sistem, pa­da­hal sudah dirancang dalam KUHP ratusan tahun lalu, itu su­dah ada. Baca saja KUHP di ba­wah Pasal 63 ke bawah,” katanya.

Aturan itu pun dirinci melalui Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Ha­rusnya dalam satu dakwaan dan dakwaannya dikumu­la­tifkan. Masing-masing diproses se­kaligus,” katanya.

Dengan pola itu, lanjut dia, hu­kumannya maksimal. “Di­tam­bah-tambahkan semua, di kita dikenal dengan istilah ku­mu­latif yang dipertajam. Di Ame­rika malah kumulatif murni, makanya bisa sampai di­vonis 90 tahun. Di kita, sayang sekali tatanan hukum dika­cau­kan kepentingan politik,” katanya.

Satu lagi, lanjut Yenti, barang bukti dan aliran dana yang di­sita, tidak boleh dipindahakan ke rekening penampung sampai ada putusan hukum tetap. “Ka­lau dipisah-pisah, malah bisa hilang sebagian aliran pe­n­cu­cian uangnya. Yang pindah ber­kasnya saja, tapi uangnya tak bo­leh pindah. Nanti disita se­telah putusan tetap dan lang­sung masuk ke kas negara,” ujarnya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

.

.

BERITA POPULAR

 
Copyright © 2015. TRIBUNEKOMPAS.COM - All Rights Reserved
Published by Tribunekompas.com