JAKARTA, (Tribunekompas)
By: Anto.
- Polisi, katanya sih, masih menelusuri dugaan keterlibatan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dalam kasus korupsi di Kementerian Kesehatan. Tapi, hasil penelusuran tersebut belum jelas hingga kemarin.
Penyidik Bareskrim Mabes Polri memeriksa bekas Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretariat Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Syamsul Bahri, kemarin.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, Syamsul menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga kesehatan. Proyek ini bermodalkan anggaran negara sebesar Rp 495 miliar.
Dari hasil pemeriksaan saksi-saksi, lanjut Anton, diduga ada penggelembungan harga pengadaan alat bantu pendidikan dokter 17 rumah sakit pemerintah dan rujukan di 12 provinsi. “Ada dugaan melakukan mark up harga alat peraga,” ujar perwira tinggi yang akan menduduki pos Asisten Sarana dan Prasarana (Asarpras) Polri ini.
Kendati begitu, Syamsul belum ditahan dan belum dicegah ke luar negeri. Alasan Anton, tersangka masih menunjukkan perilaku baik untuk menyelesaikan kasus korupsi tersebut.
“Dia menunjukkan sikap yang kooperatif,” ucap bekas Kapolda Kalimantan Selatan ini.
Anton menambahkan, kendati belum meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk mencegah Syamsul ke luar negeri, polisi yakin tersangka tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan barang bukti dan tidak akan mempersulit proses penyidikan.
Sikap kooperatif tersangka, menurut Anton, terlihat dari kehadirannya memenuhi panggilan penyidik, kemarin. Bekas pejabat Kemenkes yang terlilit perkara korupsi itu, menemui penyidik Direktorat III Tipikor di Mabes Polri, Jakarta, sekitar pukul 10 pagi.
Setelah menjalani pemeriksaan hingga pukul 3 petang, Syamsul diperkenankan penyidik untuk istirahat. Penyidikan dilanjutkan setelah tersangka selesai istirahat. “Materi pemeriksaan tersangka ini masih berkutat seputar pembahasan anggaran proyek,” kata seorang penyidik.
Menurut Anton, jika pada pemeriksaan lanjutan penyidik menyimpulkan ada keterlibatan pihak lain, terbuka kemungkinan jumlah tersangka perkara ini akan bertambah.
“Proses menuju ke arah itu tengah kami kembangkan. Kami menunggu hasil pemeriksaan tersangka ini selesai lebih dulu,” ujar bekas Kapolda Jawa Timur ini.
Namun, saat ditanya apakah penyidik sudah menemukan dugaan keterlibatan M Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat dalam perkara ini, Anton hanya menyatakan, tahapan penyidikan ke arah tersebut masih dalam proses.
Anton menyadari, banyak yang menilai penanganan kasus ini berjalan lamban. Tapi, katanya, penyidik tidak bisa buru-buru menuntaskan perkara tersebut lantaran banyaknya saksi dan materi yang harus diteliti kepolisian. Sejauh ini, katanya, penyidik telah memeriksa 100 saksi.
Selain materi perkara yang rumit, lanjut Anton, saksi-saksi yang berada jauh dari wilayah Jakarta juga menjadi kendala.
“Saksi-saksinya tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Kami juga tidak mau gegabah menentukan arah penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Kami sangat hati-hati,” ucapnya.
Hal senada disampaikan Direktur III Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigjen Ike Edwin. Penyidik, katanya, masih mengorek keterangan Syamsul untuk menyibak dugaan keterlibatan pihak lain.
“Masih ada dugaan keterlibatan yang lain. Masih kami telusuri. Proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini masih berjalan, kok,” ucap bekas Kapolres Jakarta Pusat yang akan menempati pos baru sebagai Widyaiswara Polri ini.
Saat ditanya mengenai hasil pemeriksaan tersangka Syamsul, Ike menolak membeberkan hal tersebut. Dia hanya mengatakan, kasus tersebut masih didalami anak buahnya.
Ngaku Sudah Periksa 100 Saksi
Polisi telah melayangkan surat panggilan kepada sembilan direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang diduga terkait kasus korupsi proyek Rp 495 miliar ini. Salah satu target pemeriksaan adalah untuk menyingkap dugaan keterlibatan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazarudin.
Pengiriman surat panggilan terhadap sembilan direktur RSUD ini diakui Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam. Menurutnya, sembilan direktur itu masih dalam kapasitas sebagai saksi. “Delapan direktur rumah sakit sudah kami periksa. Sisanya menyusul,” ujar bekas Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya ini, kemarin.
Pemeriksaan delapan direktur RSUD, lanjutnya, dilaksanakan sejak 29 September. Menurut Anton, para direktur itu diduga mengetahui proyek pengadaan alat bantu belajar-mengajar pendidikan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rujukan pada Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan (BP2SDM Kemenkes) tahun 2009.
Tapi, lanjut Anton, jika ditotal, penyidik telah memeriksa sedikitnya 100 saksi. Jadi, bukan hanya para direktur RSUD itu yang dikorek keterangannya.
Dia menambahkan, Polri juga berkoordinasi dengan KPK dalam menangani kasus ini. Soalnya, KPK mengusut kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun 2007 di Kementerian Kesehatan. Dalam kasus ini, bekas Sekjen Departemen Kesehatan Sjafii Ahmad telah menjadi terpidana, sedangkan bekas Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Depkes Rustam Syarifuddin Pakaya sebagai tersangka.
“Setelah cukup bukti, penyidik menetapkan RSP sebagai tersangka,” ujar Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, Rabu (28/9).
Rustam merupakan kuasa pengguna anggaran dalam proyek pengadaan alat rontgen portabel untuk Puskesmas daerah tertinggal yang merugikan keuangan negara Rp 9,48 miliar. KPK juga menetapkan bekas Direktur Bina Pelayanan Medik Ratna Dewi Umar sebagai tersangka.
Khawatir Kasus ini Akhirnya Tak Jelas
Neta S Pane, Ketua LSM IPW
Penetapan status tersangka terhadap bekas Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretariat Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan Syamsul Bahri, semestinya diikuti pengungkapan dalang kasus korupsi ini. Demikian saran Ketua Presidium LSM Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.
“Semestinya, tersangka ini menjadi kunci untuk menyibak peran pejabat lain yang lebih tinggi,” ujarnya, kemarin.
Neta mengingatkan, dugaan kerugian negara dalam kasus korupsi di Kementerian Kesehatan ini punya nilai besar. Lantaran itu, selain dugaan keterlibatan Syamsul, polisi hendaknya mampu menentukan keterlibatan pihak lain.
Dia menduga, tersangka Syamsul tahu benar siapa orang yang selama ini menjadi dalang kasus tersebut. “Kapasitasnya sebagai Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretariat Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, menempatkannya sebagai orang yang mengetahui secara spesifik perihal aliran dana pada proyek tersebut,” tandasnya.
Dengan argumen itu, Neta mengingatkan agar penyidik Tipikor Polri menindaklanjuti pengakuan maupun keterangan tersangka secara berani dan tegas. Jika tidak berani dan tak tegas, dikhawatir-kan akhir penanganan kasus ini menjadi tidak jelas arahnya.
“Penyelidikan dan penyidikan yang sudah susah payah dilakukan bisa menjadi tidak berarti. Gejala itu jelas akan sangat membahayakan Polri,” tandasnya.
Tanggung Jawab Penyidik Berat
Martin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR
Penyidik memiliki kewenangan menentukan, apakah tersangka ditahan atau tidak. Jika menganggap tersangka suatu perkara kooperatif, penyidik bisa memutuskan untuk tidak menahannya.
“Tapi, keputusan tidak menahan tersangka mempunyai konsekuensi. Penyidik harus dapat jaminan tersangka tidak melarikan diri dan tak menghilangkan barang bukti. Penyidik juga dituntut mampu menghadirkan tersangka jika mereka membutuhkan keterangannya,” ujar anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat, kemarin.
Lantaran itu, dia mengingatkan, tanggung jawab penyidik setelah memutuskan tidak menahan tersangka, seperti Syamsul Bahri, sangat besar dan berat. Perlu pemantauan ekstra terhadap tersangka agar tidak melepas tanggung jawab hukum yang harus dijalaninya.
“Harus ada pengawasan intensif. Ini memerlukan energi ekstra,” tandasnya.
Lantaran itu, Martin berharap polisi segera mengajukan status cegah tersangka ke luar negeri kepada Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Dengan menyandang status dicegah, ruang gerak tersangka akan terbatas. “Ditjen Imigrasi menjadi lebih siap mengantisipasi gerak-gerik seseorang yang diduga terlibat perkara pidana,” ucapnya.
Marthin menambahkan, keputusan tidak menahan tersangka hendaknya dipertimbangkan penyidik secara matang. Artinya, hal seperti ini tidak bisa diberikan kepada tersangka secara serampangan.
Dia juga meminta kepolisian mengoptimalkan proses penyidikan. Dengan optimalisasi proses penyidikan, Martin berharap, kasus korupsi di Kementerian Kesehatan ini bisa segera tuntas sampai menyeret aktor intelektualnya.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Anton Bahrul Alam, kendati belum meminta Direktorat Jenderal Imigrasi mencegah Syamsul ke luar negeri, polisi yakin tersangka tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan barang bukti dan tidak akan mempersulit proses penyidikan.
Sikap kooperatif tersangka, menurut Anton, terlihat dari kehadirannya memenuhi panggilan penyidik, kemarin. Bekas pejabat Kemenkes yang terlilit perkara korupsi itu, menemui penyidik Direktorat III Tipikor di Mabes Polri, Jakarta, sekitar pukul 10 pagi.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !